|

Jenak - Jenak Kejujuran

Muhammad Anis Matta
Hari-hari menjelang kedatangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Tabuk sangat menegangkan. Setidaknya, bagi Ka’ab bin Malik. Jika saja ia berada dalam rombongan Rasulullah, tentu lain ceritanya. Seperti biasa, setiap pulang dari perjalanan, Rasul lebih dulu ke masjid. Ternyata, sekitar 80-an munafik telah menunggu di sana. Mereka memohon kepada Rasulullah agar beliau meminta ampunan kepada Allah karena mereka tidak  ikut perang. Mereka juga berharap Rasul sendiri mail memaafkan. Permintaan itu dikabulkan Rasul.
Akan tetapi, tiba-tiba wajah beliau berubah merah. Seulas senyum sinis tersungging, ketika Ka’ab bin Malik menemuinya. “Mengapa kamu tidak ikut ke Tabuk? Bukankah kamu telah membeli kendaraan untuk itu?” tanya Rasulullah. Wajar Rasulullah   bersikap seperti itu. Ka’ab termasuk jajaran para sahabat terhormat, punya track record yang baik sebagai penulis wahyu, dan relatif tanpa cacat nama baik. Tidak ikut ke Tabuk menjadi sesuatu yang tak logis untuk ukuran seorang kader yang ditarbiyah oleh Rasul,Ka’ab terdiam. Ia sudah menduga pertanyaan itu muncul. Itulah detik-detik penuh konflik dalam batin-nya. Hal ini karena ia bermuamalah dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan berhadapan dengan Rasul Allah Bukan karena ia tak mampu beralasan. Ia bisa melakukannya. Sebab, seperti katanya sendiri, ia diberi kemampuan berargumentasi yang baik. Dalam situasi seperti ini, biasanya lahir dorongan unluk berdusta. Demi mempertahankan “air muka”, atau “kebesaran”, atau “kehormatan”, atau “wibawa”, atau “nama baik.”
Bentuk kedustaan pun bisa beragam. Yang paling sering muncul adalah rasionalisasi kesalahan, yaitu kecenderungan membenarkan kesalahan dengan alasan apapun.
Atau dalam ungkapan AI-Qur’an “akhadzat hul izzatu bit itsmi” (ia dipaksa oleh keangkuhan untuk membela dosanya). Konflik batin, ituiah yang dirasakan Ka’ab bin Malik. Namun, apa jawaban Ka’ab?
“Wahai Rasulullah, andaikan aku berhadapan dengan orang selain engkau, aku yakin aku dapat meloloskan diri dengan satu alasan. Aku dapat berdusta kepadamu yang dengan dusta itu akan membuatmu ridha padaku, tetap aku khawatir Allah akan membuatmu marah padaku (dengan mengungkap kedustaan ini melalui wahyu). Wahai Rasulullah, tetapi jika aku jujur padamu, dan itu membuatmu marah padaku, aku masih bisa berharap agar kelak Allah mengampuni dosaku.”
Ka’ab telah melewati jenak-jenak penuh pertandingan itu, melewati detik-detik yang menegangkan dan sangai berat. Dan ia menang. la mengalahkan dirinya sendiri dan memenangkan kejujuran imannya atas dusta dan kemunafikan. “Orang-orang ini benar-benar telah berkata jujur,” ucap Rasulullah.
Selanjutnya, Rasul berkata, “Wahai Ka’ab, berdirilah, sampai Allah memutuskan sesuatu untukmu.” Ka’ ab pun mendapat hukuman, pemboikotan sosial selama 50 hari. Namun, itu lebih ringan daripada beratnya pertarungan batin untuk memenangkan kejujuran iman.
Kita semua akan menghadapi detik-detik seperti itu. Dan, kita bisa menang, jika di saat seperti itu kita menyadari bahwa kita hanya bermu’amalah dengan Allah; yang mengetahui pengkhianatan mata dan segala yang tersembunyi dalam dada. Bukan dengan manusia; yang mudah dibohongi atau bahkan senang dibohongi. Itulah yang membuat kejujuran bernilai lain di mata Allah subhanahu wa ta’ala. Itu pula sebabnya, mengapa banyak di antara kita yang selalu gagal di etape ini.
hasanalbana.com

Posted by Admin on Friday, March 30, 2012. Filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "Jenak - Jenak Kejujuran"

Leave a reply